Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerita Pendek Hilang Karya Riska Dwi Jayanti


HILANG
Oleh: Riska Dwi Jayanti



Salam Hangat dan Hormat

Selamat Berliterasi.

Kejadian ini mengagetkanku, sangat menyentak, hanya ada kata “mengapa?” pertanyaan itu yang terus menggerogoti hatiku. Sungguh kenyataan yang tak kan pernah diduga oleh semua orang, karena semua itu hanya rahasia Allah.

“Ky, maaf mengganggu, Aku mau kekantin, ikut gak?”

Aku tergagap, “ oh, kamu Ra, enggak deh, Aku sudah makan tadi dirumah, dan belum lapar lagi”.

“oke deh ky, tapi jangan keseringan melamun ya”

Aku hanya tersenyum mendengar saran Rara. Teman yang selalu perhatian walaupun Aku sendiri tak pernah terlalu menanggapi. Terkadang hatiku tak pernah rela memperlakukan itu pada Rara. Tapi, entah mengapa sulit sekali menghilangkan kebiasaan diam ini. Aku selalu iri dengan Andin yang selalu mudah untuk akrab dengan siapapun, termasuk dengan orang yang baru dikenal. Aku juga iri dengan Fitri yang selalu tampil berani menunjukkan kemampuannya. Sedangkan aku? Aku tak pernah punya keberanian dan kelebihan yang bisa kutunjukkan kepada siapapun. Terlebih, bila mengingatu kejadian itu, semakin membuat nyaliku hilang.

“Ky,!! Sebuah suara kembali mengagetkan aku”. Ternyata Mina temanku yang paling heboh dan ceriwis.

“ Iya Min, ada apa?”

“ Buatin puisi dong, kamu kan jagonya”.Itulah kata teman-temanku, Aku hebat dalam baca dan menulis puisi. Namun, tetap saja tak pernah ada keberanian untuk menunjukkannya di muka umum.

****
Kejadian itu masih saja membekas dalam memoriku, terulang selalu,bahkan pada saat aku tak ingin mengingatnya.

“ky, ada surat untukmu” Rara menyodorkan amplop putih untukku.
“apa ini Ra? Dari siapa?”

“Aku tidak tahu Ky, labih baik kamu baca saja sendiri” jawab Rara dan tetap tanpa kehilangan senyum manisnya. Ku buka amplop itu perlahan, ada beberapa lembar disana. Kubaca lembar pertama, pemberitahuan bahwa akan diadakannya lomba menulis dan baca puisi tingkat kabupaten.

“Apa ky isinya?” Rara masih disampingku

“Ada lomba Ra, dan Bu Fatma menunjukku untuk mewakili sekolah” jawabku tak bersemangat.

“Wah, kamu harus ikut Ky, kesempatan baik untuk menunjukkan siapa dirimu”.
“Tapi Ra...............”

“Ky, kapan lagi? Ini kesempatan bagus, gak boleh disia-siakan, dan......bla..bla...bla. Aku tak sanggup lagi menampung kata-kata Rara dalam telingaku, dan perlahan tanpa kusadari sebentuk alur telah terbentuk dipipiku.

“Maafin Rara Ky, kalau omongan Rara justru membuat Zaky nangis”
“A...a..ku gak apa-apa kog Ra, hanya menyesal, mengapa aku selalu tak pernah mengindahkan kata-katamu selama ini, terlalu banyak diam yang aku berikan untukmu, justru aku yang minta maaf Ra, aku egois”.
Rara merangkulku, “Kita sahabat Ky, menangislah bila memang itu bisa membuatmu lega”. Aku termotifasi, ada sedikit kelegaan yang aku rasakan.

***
Perlombaan itu kuikuti, dan sebentuk jalan baru terbentang dihadapanku. Aku, Zaky Febriani menjadi pemenang dalam kompetisi itu. Masih berlanjut hingga sebuah gerbang terbuka lebar untukku, sebagai juara nasional dalam membuat dan mambacakan puisi tingkat nasional. Kebanggan itu menyeruak dalam kalbuku. “Ternyata Aku Bisa” Batinku terus saja mengumandangkan itu. Jalan yang baru saja dibuka untukku, perlahan kutapaki. Ada sisi dalam kehidupanku yang telah berubah, Aku semakin rajin menulis, karena itulah kegiatanku  kini selain belajar. Kuhasilkan ukiran hati dalam kata yang ternyata menghasilkan rupiah. Sangat dan teramat cukup untuk dapat membiayai pendidikanku yang masih dalam jenjang SMK.

“Ky, kog masih melamun?” Rara, dia masih terus mengingatkanku bila aku kembali dalam keadaan ini. Ya, ternyata sisi diamku masih terus bertahta, seolah enggan meninggalkan aku. Bahkan peristiwa saat itu masih terus membayangiku. Bahkan pada saat yang tak  pernah ku minta.

“Ky, bukan Aku mau ikut campur, tapi Aku gak mau Zaky kenapa-napa. Zaky cerita dong kalau ada masalah”.

“aku sendiri gak pernah tahu apa masalahnya Ra. Bayangan ini tetap saja tak pernah pergi dari ingatanku. Apalagi sikap diamku, ada saat aku ingin membuangnya, tapi saat itu juga seolah dia tak ingin pergi”.

“Ky, Hidup itu bukan hanya untuk takluk pada kenyataan, kita harus berusaha”.
“Ra, pernahkah engkau kecewa pada dirimu sendiri?"
“Pernah Ky, dan pada saat itulah aku tahu bahwa aku juga memiliki kekurangan tapi juga kelebihan”.Aku diam, tak tahu harus mengatakan apa. “Hidup memberikan kesempatan pada kita untuk menikmati hidup itu sendiri ya Ra? Tapi mengapa aku tak pernah menikmatinya, sejak................” kalimatku menggantung
“sejak apa Ky???”Aku belum mampu menjawab, hatiku tak mampu menjawab,tapi tak ku tahu, mengapa bibirku terus saja bergerak, bercerita.

“Aku kehilangan sesuatu yang berharga Ra, Delapan tahun lalu. Perlakuan itu kudapati hampir satu tahun, aku tak tahu apa itu. Aku hanya merasakan sakit dan tertekan. Kejadian itu menjadikanku benci pada kaum Adam, dan aku menjadi seperti ini. Aku juga tak pernah tahu apakah aku  masih bisa dikatakan gadis Ra. Aku malu”.

kembali kristal-kristal bening itu berjatuhan di pipiku. “belum lagi aku yang tak lagi diakui anak oleh kedua orang tuaku, sejak Fitnah yang telah diberikan si jahanam itu pada seluruh kampung. Aku dibuang Ra, aku tak memiliki siapapun, orang tuaku saja tak pernah perduli apalagi orang lain. Aku harus merasakan dinginnya tidup di emperan toko diusiaku yang baru 10 tahun. Aku kehilangan semuanya Ra”. 

Tak mampu lagi kurasakan air mata ini mengalir. Entah apa yang menjadikan bibirku terus berbicara, padahal hatiku masih berusaha diam.

“kamu tahu Ra, ternyata memang itu yang harus ku jalani, aku ditemukan oleh seorang Janda yang sangat baik yang saat itu aku hampir meregang nyawa karna aku tak makan dan minum selama lima hari. Sangat buruk Ra”. 

“ Ky, stop ky...Rara bukan bermaksud membuatmu seperti ini”. Rara panik, sangat panik, ia terus menggucurkan air mata.

“Ra sadar, please jangan seperti ini”. Seru Rara sambil terus menangis. 
Bibirku masih terus berucap “Aku masih hidup Ra, aku masih merasakan kasih sayang tulus Ibu itu, tapi aku masih tak bisa melupakan kejadian itu Ra, Wajah si jahanam, penghancur hidupku, dan juga keluargaku Ra, Ayah dan Ibuku yang membuangku. Aku kangen dengan kak Gilang Ra, dia kakak terbaikku, dia membelaku Ra. 

Kamu tahu Ra, Janda itu bernama Bu lastri, dia Ibuku sekarang, dia yang mengajariku menulis, tapi dia tak pernah berhasil mengajariku untuk jangan diam. Ra, Apakah aku masih bisa menjadi yang terbaik? Apakah aku masih bisa menjadi sahabatmu saat semua ini telah kau ketahui? Apakah aku akan tetap bisa menulis?, Ra, aku ingin bahagiakan Bu Lastri, Dia terlalu sepuh untuk menanggung biaya sekolahku, Dia harusnya istirahat ya Ra, dia gak boleh capek Ra, tolong bilang ya Ra dengan Bu lastri, Aku sayang dia Ra, bilang juga terima kasih ya Ra” Hatiku hampir membeku, dan perlahan bibirku berhenti berucap, hatiku sedikit mencair, tapi, perlahan gelap mulai menyelimutiku, lalu hilang.

***
Rara masih terus menangis mendampingi Zaky yang terbaring tak berdaya diruang ICU. Rara tak mampu menghentikan ocehan Zaky tentang dirinya. Ia baru tahu, itulah yang membuatnya diam selama ini, terlalu pahit hidup yang telah Ia lewati, batin Rara. Lima hari sudah Zaky terbaring tak berdaya. kesehatan Zaky tak juga kunjung membaik, Pasca igauan itu kesehatannya justru kian memburuk. Mungkin hanya Mujizat dari Allah lah yang bisa merubah semuanya. Doa untuk kesembuhannya terus berdatangan dari para penggemar tulisan Zaky. Rekan satu sekolah yang semua ikut merasakan kepiluan tersendiri.

Satu Bulan berlalu, tak jua ada perubahan. Bu lastri dan Rara lah yang selalu ada. Hingga suatu siang.

“Ra, Bu,”Zaky tersadar

“ Zaky!!!!!! Sebuah teriakan kecil karena kebahagiaan dari Rara dan Bu Lastri. Zaky hanya tersenyum lemah. Memperhatikan sekelilingnya, sesaat pandangannya bertemu dengan sorot mata yang begitu dirindukannya,

“K...K....Kak G...Gilang???
“ini kakak Ky, maafin kakak yang mengabaikanmu juga Ky, kakak mencarimu selama ini, selalu diam-diam, Papa dan Mama melarangku berhubungan denganmu”.Sebuah kenangan kembali terusik dalam benak hati Zaky dan Gilang. Tangis keduanya tak cukup untuk mengembalikan moment yang sirna selama ini.

“ Kak, bilang dengan Papa dan Mama, Zaky kangen, Zaky pengen ketemu mereka, Zaky pengen minta maaf, terlalu banyak kekecewaan yang mereka tuai dari Zaky, BU Lastri, terimakasih, selama ini telah menjadi ibu terbaik untukku, dan kamu Ra, terimakasih telah menjadi sahabat terbaikku. Semua terdiam dan hanya mampu mengangguk menahan tangis. Zaky begitu tegar kini, kesehatannya berangsur membaik, diamnya mulai hilang. Zaky kembali,begitu kata Gilang yang tak pernah ingin lagi meninggalkan adik tercintanya.

****
Aku letih sekali, rasanya terlalu lama aku berjalan, penat mengiringi kakiku. Tapi aku bahagia, menemukan Kakakku, Gilang, dalam terjal dan terik perjalananku.Aku ingin kembali seperti masa tujuh tahu silam, saat semua itu belum merenggut kebahagiaanku, walaupun ku tahu, ku tak menemukan keutuhan cerita, karna sekarang, tokohnya pun berbeda. Aku bangga dengan prestasiku sebagai penulis muda berbakat, juga seluruh orang-orang disekelilingku. Tapi masih ada satu mimpiku, bertemu Papa dan Mama kembali. Namun ketika semua itu telah hampir sampai di ambang mata. Kenyataan menderaku dengan begitu keras, Papa dan Mama kecelakaan sewaktu mereka akan menemuiku. Aku hanya menemukan jasad mereka, hanya mampu melihat mereka tertidur untuk selamanya, tanpa merasakan hangat pelukan mereka terlebih dahulu.

Sekarang, Aku seorang siswi 17 Tahun, ingin meniti hidup dengan begitu perlahan namun pasti. Biarkan kebahagiaan ini menyapaku, dan aku justru tertawa lirih, karena ku tahu, diamku pergi, dan itulah tertawaku yang terakhir, karena Aku begitu bahagia berjumpa papa dan Mama, dipeluknya, dekapan yang ku dambakan. Kebahagiaanku bertambah saat bu Lastri ikut serta bersama kami. Dari jauh ku lihat kak Gilang dan Rara yang bersimpuh disamping pusara atas nama “Zaky Febriani, Wafat 11 Juni 2019”.
Terima kasih.

Halley Kawistoro
Halley Kawistoro Seorang Tenaga Pengajar di Sekolah Menengah Pertama yang ingin menyalurkan kemampuan di bidang Menulis dan bermanfaat Bagi Orang Lain

Post a Comment for "Cerita Pendek Hilang Karya Riska Dwi Jayanti"