Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen : Kisah Nenek Bergincu Merah

Cerpen : Kisah Nenek Bergincu Merah
Oleh: Halley Kawistoro
Di sebuah perkampungan yang asri hiduplah masyarakat yang sangat menjaga adat-istiadat. Saling kunjung-mengunjungi dalam keadaan suka atau duka. Ketika salah satu warga sedang mengalami kedukaan atau musibah warga lainnya berbondong-bondong untuk membantu terutama bila ada duka Kemat*ian Begitu juga sebaliknya jika salah satu warga sedang hajatan seperti khitanan atau pernikahan tak segan-segan yang lainnya menyisihkan waktu, tenaga, dan sedikit hartanya untuk mensukseskan hajatan si tuan rumah.
Sampai suatu waktu, ada sebuah rumah tua yang didatangi oleh dua orang beranak. Seorang nenek bernama mirah dan putrinya yang sedang mengandung. Mereka menempati rumah tua yang sudah lama tidak dihuni tersebut. Rumah yang cukup mewah dengan model bangunan klasik. Beratap genteng dan lantainya yang masih menggunakan tegel. Serta ornamen-ornamen ukiran kelopak bunga di dinding dan tiang-tiangnya membuat indah penampakannya.
Rumah itu konon merupakan warisan dari seorang pejabat yang memang sering digunakan untuk acara kedinasan. Berdasarkan pengalaman warga, rumah itu memang sering dikunjungi setiap akhir minggu. Suasana kampung yang asri serta udara yang sejuk sungguh bisa dinikmati sebagai tempat untuk melepas penat.
Nenek Mirah merupakan seorang janda dari pejabat yang terkenal karena kebaikannya. Ia menikah di usia yang tidak muda. Sekitar umur 40 tahunan. Warga memang menyambut antusias ketika rumah tua tersebut kembali di tempati. Apalagi, oleh pemiliknya sendiri yang menempati. Kini umur nenek tersebut memasuki 65 tahun. Tubuhnya masih kelihatan tegap. Setiap kegiatan warga nenek terebut tidak pernah berpangku tangan. Ia tak rela membantu dan berpartisipasi dengan bersemangat. Penampilan yang sangat eksotis dari nenek ini adalah kebiasaannya memoleskan gincu dengan tangan dan merapikan nya dengan mengepit tisu dibibirnya.
Para ibu-ibu muda mengaggumi kebaikan dari nenek mirah yang tanpa pamrih.
“ nenek mirah jangan terlalu capek” ujar salah satu ibu-ibu.
“oh saya sudah biasa bekerja keras. Dalam ajaran agama kita harus tolong-menolong terutama terhadap saudara. Bagiku kalian para tetangga adalah saudaraku.” Jawab nenek mirah sambil tersenyum.
Pesan dan ucapan nenek mirah selalu bijak dalam setiap aktivitasnya. Usianya yang matang dan pengalamannya membuat ia semakin disegani oleh ibu-ibu muda.
Nenek mirah juga sering mengunjungi tetangganya untuk bersilahtuhrahmi. Ia sering membawa kue atau makanan buatan tangannya ketika berkunjung.
“Selamat sore, fatimah. Boleh saya masuk” sapa nenek mirah di depan pintu rumah fatimah
“ohh...nek mirah masuk nek. Jangan repot begini” mempersilahkan nek mirah dan mengambil bungkusan yang disodorkan.
Fatimah adalah tetangga nenek mirah yang terkenal sangat suka menolong. Ia hanya ibu rumah tangga dan suaminya buruh lepas yang kadang kerja - kadang tidak. Keluarga fatimah juga sangat rukun. Anaknya baru satu dan berumur satu tahunan. Setiap nenek mirah berkunjung merupakan waktu tidur sang anak. Tentu mereka berdua sangat leluasa untuk berbagi cerita.
Fatimah juga terkenal sebagai pribagi yang jujur dan menjadi tempat para tetangga lain untuk berkeluh kesah.
“nenek mirah baik sekali. Sering mampir dan membawa makanan buat kami” puji fatimah
“biasa saja fatimah, apa tidak boleh kita berbagi. kamu itu ya, saya anggap anak sendiri.” Jawab nek mirah.
Dua hari atau tiga hari sekali nenek mirah selalu mengunjung tetangganya fatimah. Memang nenek mirah biasa berkunjung di saat jam setelah sholat ashar. Sekitar jam empat sore. Ia juga tidak hanya mengunjungi fatimah. Ada juga Siti, dina dan yani yang ia kunjungi dan banyak ibu muda lainnya. Rata-rata tempat yang ia kunjungi memang dari keluarga yang hidup pas-pasan.
Suatu waktu terjadi peristiwa yang menggemparkan di kampung tersebut. Kampung yang dulunya mendapat julukan wilayah yang paling nyaman ditinggali. Kini berubah menjadi tempat yang mencekam. Terjadi peristiwa yang masuk kategori luar-biasa. Siti dan dina terlibat dalam pertengkaran yang hebat. Suami mereka pun ikut terlibat perkelahi*an.
Siti mengalami luka serius begitu juga dina mereka dibawa ke puskesmas terdekat dan mendapat perawatan. Suami mereka pun digelandang ke kantor polsek terdekat. Segera kepala desa, ketua adat dan ketua pemuda serta warga mengadakan rapat dadakan.
“terima kasih kepada bapak-bapak yang telah hadir.” Sambut kepala desa di hadapan semua warga dan perangkat terkait. Setelah beberapa jam pembicaraan, warga dan perangkat terkait belum menemukan penyebab masalah terjadinya peristiwa yang memilukan tersebut. Cuma, berdasarkan laporan salah satu warga yang menyaksikan. Sebabnya dikarenakan siti tidak terima karena keadaan rumah dan keluarga nya dihina. Memang siti wanita yang tidak sekolah dan sibuk membantu suaminya berjualan warung sarapan pagi. Setiap hari ia disibukan untuk menyiapkan dagangannya. Sebenarnya antara siti dan dina juga memiliki hubungan darah karena mereka berasal dari satu kakek yang sama. Warga pun heran kenapa ini bisa terjadi. Kalaupun ada perbedaan biasanya segera ke kepala desa untuk dicarikan solusi dan langsung ditemukan solusinya.
“semoga kejadian seperti ini tidak terjadi lagi di kampung kita” kepala desa menutup rapat dan Wargapun pulang ke rumah masing-masing.
Selang beberapa hari peristiwa aneh juga terjadi. Yani menggugat cerai suaminya yang terbukti selingkuh. Suaminya tono merupakan tukang Ojek yang pulang istirahat jam 3 lalu kerja kembali jam lima sore sampai jam sebelas malam. Sepengetahuan warga tono orang yang taat beragama. sepulang mengojek ia menunaikan ibadah sholat. Ia juga selalu menyempatkan dirinya untuk adzan subuh. memang sih, berbanding terbalik dengan yani seorang ibu muda yang dulunya hidup sebagai biduan. Karena seringnya, memesan ojek dengan tono, mereka pun saling jatuh cinta. merekapun masih terbilang penganten baru karena baru dua tahun menikah dan belum dikaruniai anak.
Apa mau dikata. Pernikahan tono dan yani tidak bisa dipertahankan lagi karen tono sudah langsung menjatuhkan talak 3 kepada yani. Selentingan isu yang beredar perpisahan mereka hanya masalah sepele disebabkan ada bekas tisu yang tertempel bentuk Bibir berwarna merah. Serta jaket yang dikenakan tono wangi parfum wanita lain.
Setelah dua peristiwa yang menggemparkan warga tersebut nenek mirah berpamitan kepada kepala desa dengan alasan mengantar Putrinya yang ingin melahirkan di kota.
“pak kades, saya dan anak saya pamit mau pindah lagi Putri saya mau melahirkan dan saya mau melihat property mendiang suami saya yang lain” berpamitan di rumah Kepala desa.
“ ya nek kami dan warga sangat kehilangan, hati-hati dan semoga lain waktu nenek kembali lagi” jawab Kepala desa.
Nenek mirah pun segera meninggalkan kampung tersebut. Sebelum meninggalkan kampung tersebut nenek mirah menitipkan rumahnya kepada Fatimah untuk dibersihkan. Seminggu setelah peristiwa-peristiwa yang menggemparkan dan kepergian nenek mirah. Fatimah pun menuju rumah tua dan mengambil sapu lidi. Tampak dedaunan kering yang tertiup angin membuat kotor halaman rumah tersebut. Disapunya dan dibersihkannya semua sampah yang tampak dimatanya. Ia pun tampak lelah dan duduk menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus. Matanya memandang, sebuah kotak sampah yang belum ia bersihkan. Bergegas kotak yang berisi sampah itu diambilnya dan ia menuju ke tempat pembakaran sampah. Ia tuangkan kotak tersebut. Isinya jatuh langsung ke tempat pembakaran. Beberapa sampah ringan pun terbang, beberap tisu pun tidak jatuh ke dalam pembakaran.
 Diambilnya tisu dengan aroma parfum yang menyengat tersebut menggunakan tangan. Kemudian dibukanya. Fatimah terkejut dan teringat akan cerita Yani sebelum bercerai.
“Kau tahu Fatimah, Tono itu suka selingkuh sepulang dari mengojek aku selalu menemukan tisu yang berbentuk bibir dan parfum wanita lain di jaketnya.” Keluh yani kepada fatimah
Fatimah pun menuju kursi duduk dengan tarikan yang cukup panjang. Ia berfikir peristiwa yang dialami ini merupakan perbuatan dari penghuni rumah tua ini. Kebaikannya terhadap ibu-ibu muda hanyalah alibi untuk membuka aib satu sama lain antara warga. Fatimah pun berfikir semenjak kehadiran nenek mirah ia sering menghina tetangga lain, menyebutkan kejelekan dan kekurangan warga lainnya. Sungguh kesia-siaan yang ia dapat mengingat waktu yang dihabiskannya bersama nenek mirah. Fatimah mengelus dada dan ia menyesal sambil memandang Tisu berbentuk bibir dengan Gincu berwarna merah. Fatimah pun pulang meremas dan melemparkan tisu yang bergincu merah itu ke tempat pembakaran.
________(SEKIAN- 19/10/2017)_______________________
Cerita diatas hanya fiktif dan bersifat menghibur. Semoga menghibur dan dapat dipetik hikmahnya.
Gambaran cerita di atas menggambarkan bahayanya mulut yang tidak terjaga dan bisa menyebabkan bencana terhadap silatuhrahmi. Semoga kita bisa instrospeksi diri dengan lisan dan menjaga mulut dari kata-kata yang tak bermanfaat.
Ada juga karya saya yang lainnya berupa cerpen dan puisi dibawah ini:




Hormat Saya,

Penulis.
Halley Kawistoro
Halley Kawistoro Seorang Tenaga Pengajar di Sekolah Menengah Pertama yang ingin menyalurkan kemampuan di bidang Menulis dan bermanfaat Bagi Orang Lain

Post a Comment for "Cerpen : Kisah Nenek Bergincu Merah"