Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bukan Cerpen Berjudul Imam Sesaat

Bukan Cerpen berjudul "Imam Sesaat"

Kamis 04 Agustus 2022, Semangat pagi hari penuh kesibukan. Suara bising mulai kami tembangkan seperti viralnya lagu Sikok Bagi Duo. Sahut-sahutan bergantian memainkan peran. Iya itulah drama yang akan di kenang dengan kegiatan orang tua di pagi hari menyiapkan anaknya untuk bersekolah. ya maklum dan "alhamdullilah" saya bisa dibilang beruntung dititipkan menjadi seorang guru. 

Keramaian yang terjadi cukup ditimbulkan oleh anak perempuan kecil ku yang telah menduduki bangku TK. Senin Sampai Sabtu mesti ada keriuhan. Seperti masalah air mandi yang dingin, peralatan sekolah yang menyembunyikan diri, sampai semangat putri ku yang enggan ke sekolah dengan alasan yang kami tidak pahami sebagai Orang Tua. 

Mau tak mau slogan sederhana bisa dibilang pola asuh yang kami serap gegara sepenggal pesan pada tontonan anak film Upin dan Ipin yang berpesan. "Biarkan anak yang menangis, Jangan Sampai Nanti Orang Tua Yang menangis" mau apapun ceritanya secara umum bisa disebut didikan ala ala militer. @#$%$###$$ Kalau tidak salah artinya Benar. pastinya, ini bukan jadi titik yang harus diperhatikan.

Daripada banyak dalil dengan sebutan sebuah Kata yang di agungkan "Sayang Anak" namun realitanya. Banyak dari orang tua yang mesti mengalah kapada anak-anaknya dan malah sukarela menuruti anaknya. Hingga masuk ke dalil keyakinan, Psikologi, kejiwaan anak. @$$%^^%##% Kalau tidak salah artinya benar.

Selebihnya orang tua punya senjata ampuh untuk anak-anak yaitu waktu luang yang sepadan dengan Uang. Apapun bentuknya semua orang tua punya tujuan sama membahagiakan anak-anak nya.

untuk pagi ini aman terkendali 06.50 wib pada pagi hari. aku dan anak perempuanku sudah siap melaju. Ia memilih duduk di belakang sambil memeluk pinggang ayahnya yang lumayan besar oleh lemak.

Disertai mendung kami pun berangkat menuju ke "TK" yang bila kusebutkan akan memulai persetruan dan perdebatan dengan putriku. 

" Ayah adek ini bukan anak TK tapi Anak RA" Terangnya padaku.

Untuk treatmen bocil perempuan ini lumayan berbeda dengan Kakaknya. boleh dibilang seperti pesan politikus yang hampir jadi Pimpinan RI yang suaranya sering muncul dan tidak asing dengan jargon "Karena Kita Tidak punya Uang"

Hahaha. anakku yang pertama tak mengenyam Taman Kanak Kanak. Sedangkan adiknya berkesempatan untuk mengenyam pendidikan dan satu bulan berjalan. 

"Bunda anaknya bentar lagi sudah Naik Jilid lima loh" penjelasan guru anak perempuan ku saat Istriku menjemput kepulangan nya dari RA.

Aku juga tidak terlalu paham. pola pendidikan di Jenjang dasar TK atau RA seperti apa sempai pakai Jilid dan berjilid jilid seperti sebuah cerita dari Negeri Konoha atau Kisah Novel yang tak nyata dan tak berujung sesuai kemampuan Imajinasi Pengarangnya.

Lanjut sampai sini, alur peristiwa di atas hanya, sekadar, sebatas suka suka saya menulis melatih dan mendokumentasikan memori melalui Literasi. 

Setelah ku mengantar, anak perempuan ku. Aku pun bergegas menuju tempat kerjaku dan telah ditunggu anak anak berseragam Putih Biru. lalu kuparkirkan motor dan kumulai masuk kelas. 

Sesekali sebagai guru bahasa aku selalu mendongeng dan bercerita yang terkesan di nilai dan di anggap sebagai cara mengajar dengan pandangan sebelah mata. Tetapi, banyak yang tidak tahu kalau guru bahasa yang tak pandai bercerita ya bisa di ragukan kredibilitasnya. Kenapa?

Iya iyalah... Toh setiap hari para guru di saat pandemi berlomba lomba di ajari para tutor, ikut webinar sana sini yang di pelajari para guru sama. Duduk menatap layar kamera menonton para pakar menyajikan materi tentang apapun yang membedakan hanya bonus tampilan dan cara penyajian. Hayooo sama kan.? MIKIR kwkwkw.

selanjutnya setelah tuntas ku hadir dan mengajar dan  memberi tugas. aku bergegas pada kegiatan lainnya.



------

Aku menuju ke kegiatan lain nya hilir mudik bak orang kehilangan arah. Sahut menyahut menyambung silahturahmi sesama rekan rekan yang ku jumpai. Berbeda latar belakang, asal,suku, ras dan agama namun semuanya tetap satu jua yang biasa di sebut Guru atau Pendidik.

Momen perjumpaan yang menginspirasi. Melihat semangat rekan rekan pendidik yang mendampingi siswa siswi nya pada ajang lomba seni dan budaya di tingkat kabupaten.

Namun, ini bukan cerita pendek. Narasi di atas sekedar diri ini melatih menulis. Merekam momen untuk di dokumentasi dan barangkali ada cerita yang bisa dipahami dan dimengerti bahwa sudut pandang pembaca akan dapat di ketahui apakah tulisan ini terbaca dan bisa di ikuti sampai inti cerita.

Dari panjangnya cerita di atas momen terindah yang ingin kusampaikan dan membuat bahagia. Saat waktu ashar menghampiri aku masih sibuk hilir mudik. Sesekali melempar senyum namun bingung apa yang harus kulakukan kembali. 

Segera ku menuju mushola sekitar tepat pukul setengah lima sore. Tampak gelisah aku mendekat ke mushola melihat seorang pendidik yang berjemaah dengan seorang pemuda. Lirik kanan kiri aman. Karena tak ada yang menuju mushola. 

"Aman gak perlu berjemaah" ujarku dalam hati karena masih ada urusan lagi.

Ku bergegas mengambil wudhu dan masuk ke mushola. Kulihat dua lelaki yang berjemaah tadi sudah mengakhiri solat dan berdoa bersama. Dengan santai aku pun memulai sholat ashar ku. Sebelum ku mulai tampak memang anak anak SMP mengambil wudhu. Aku pun masih menghindar untuk tidak mau menjadi imam. Aku ambil posisi di pinggi kiri mushola dan memulai sholat. saat hendak memulai tiba tiba bahu kanan ku di tepuk oleh seorang anak SMP yang setahu kedangkalan ilmu agama Islam ku artinya ia menjadi makmum. Tubuhku sedikit gemetar dan terkejut. Aku ingat kembali bagaimana pelajaran menjadi imam. Kulantangkan Takbir ku setelah mengakhiri Al fatiha dan surat pendek. ""Allahu Akbar" aku ruku' dan menyelesaikan solat dengan melantangkan takbir dengan rasa tanggung jawab menyelesaikan sholat sampai rakaat terakhir dan mengucapkan salam.

Cerita ini bagian rasa syukur bagaimana kepercayaan orang yang diberikan. Belajar dari anak SMP yang mempercayakan diriku menjadi imam. Setelah doa. Makmum ku tadi menyalamiku dan mencium tanganku. Rasa haru, senang dan membuat bahagia. Rupanya tak hanya satu anak yang menyalamiku. Ada tiga lainnya yang ikut menyalamiku. Sesal ku datang. Salahku yang memilih solat sendirian dan dipinggir. Sehingga anak anak lainnya memilih untuk solat sendiri. 

Menjadi sebuah pelajaran terkadang kita sendiri yang menolak rejeki. Hal kecil terkadang kita lupa untuk mensyukuri. Padahal kita sendiri yang menolak rejeki. Rejeki yang ku ingat di percaya sebagai "imam sesaat" sebuah PR untuk yakin pada diri bahwa fitrah seorang laki laki adalah menjadi imam. Terima kasih makmum ku semoga kau sukses di kala dewasa dan jadi imam selanjutnya yang lebih baik dari saya.

Terima kasih yang membaca. 

Halley Kawistoro
Halley Kawistoro Seorang Tenaga Pengajar di Sekolah Menengah Pertama yang ingin menyalurkan kemampuan di bidang Menulis dan bermanfaat Bagi Orang Lain

Post a Comment for "Bukan Cerpen Berjudul Imam Sesaat"